Jumat, 02 November 2018

Ridhomu Dengan Ridho Nya


    Sabit baru saja pulang ke langit sebelah, menjumpai iparnya yang kerap disapa kejora, sedang tsuroya(1) hanya menatap dari kejauhan. Kulihat mentari jinjit untuk menerawang tingginya kasih ibu yang tergantung di jemuran. Dalam satu hanger saja, ada sejuta cerita, ada senyum, ada tangis, ada rindu, ada kasih, dan ada cinta yang terjemur bersama mukena.

    Semalam, ketika angin lari berebut sisa cahaya senja, ada segelas kopi di samping kiriku bercerita pada embun bahwa ia tak akan pernah kering, embun berbalik cerita bahwa ia tak kan pernah surut dan akan terus tumbuh meski terus terjatuh. Di depan tatapku, dedaunan berdesakan berlomba menghitung bintang dan menebak-nebak, di langit mana akan kulukis senyum ibu. Di samping kananku, ada roh yang mendiami jasad yang terus menua, berbalut mukena putih yang bersimpuh di sepertiga malam, lalu menengadahkan tangannya hingga subuh mengucap salam.

    Mata enggan terpejam, kutoleh arah belakang hingga kulihat setengah rohku lari ke dimensi Sembilan belas tahun silam, ia membawaku kepada ingatan tentang bapak yang kelelahan, ibu menenangkannya dengan bacaan Al-Qur’an dengan pelafalan paling menyejukkan. Aku masih rewel dan meminta ibu menggambarkan bus kota dengan pensil yang kusodorkan, beliau menggambarkannya untukku meski sebenarnya tak bisa menggambar, dengan senyum dan kasih paling tulus, jemari beliau menari indah dengan goresan pensil di tembok, yang muncul hanya garis seperti bejana berhubungan dan lingkaran tak menentu bentunya yang katanya roda bus, lalu di atasnya beliau goreskan pensilnya dengan garis-garis tak beraturan.

    “Itu apa, bu’?” tanyaku

    “Ini bus, sayang! katanya minta gambar bus?”

    “Telus, ini apa?” tunjukku pada garis-garis tak beraturan itu.

    “Ini tebu, busnya ngangkut tebu,”

    “Tebunya mau di bawa ke mana?”
     “Ke pabrik, mau dibikin gula.”

      Sekarang kurindukan gambar bus yang mengangkut tebu itu, kuraba-raba tiap jengkal tembok rumahku, tapi tak ada, bukan tertutup cat tapi karena tembok itu sendiri sudah tak lagi ada. Ingin kutangisi, tapi kusadari hanya ibu yang bisa membungkus semesta di kantong plastik bekas bungkus krupuk yang didapatnya usai Barzanji-an(2).

      Kembali kutoleh belakang, tepatnya ketika aku masih jadi balita yang paling cerewet minta makan. Wajah imutku terlalu lamat-lamat untuk kuingat, hanya piring oval bergambar kelinci menjadi satu-satunya saksi yang tersisa untuk mengisahkan detail ceritaku melalui isyarat secentong nasi hangat.

“Bu’!ma’em!!!” teriakku masih tanpa dosa.

“Iya, ibu’ ambilkan, sayang!” ibu mondar-mandir cari nasi.

“Cepet!!!” teriakku tak mau menunggu, tapi ibu belum juga sampai, ”Bu’e cepet!!!”

Ibu lari dari luar rumah, beliau dapat setengah centong nasi dari tetangga, “Ini maemnya, sayang!”
“Suapin!” kataku manja.

Tangan suci beliau  dengan telaten menjumputi nasi, lalu menempelkannya pada butiran-butiran garam di tepi piring.

“Aaa’ … eeemmm,”

      Kukunyah benih takdir dengan seulas senyum bahagia, rona senja paling indah seolah pindah ke pipi ibu bersama sejuta madah, kuncup mawar mendadak mekar dan berubah dari putih menjadi merah, semerah pipi ibu saat menikmati senyumku, pun ada bunga semak yang turut mekar sore itu hingga ia disapa bunga pukul empat.

      Bapak pulang dari kerja, tiba-tiba beliau merebut piring dari tangan ibu dengan wajah kecemasan, “Nanti perut Kiki’ jadi sakit!” teriaknya pada ibu.Sikap bapak bukan tanpa alasan, beliau melihat garam di tepi piring itu bercampur pasir, mungkin sempat tumpah ketika ibu lari dari rumah tetangga. Aku hanya bisa menangis, sedang ibu menundukkan kepala, mencoba membendung air mata meski akhirnya tumpah juga. Ketiadaan dirasa kejam, lebih kejam dari hening yang tak pernah bisa dibanting.

      Bapak lari ke warung hendak hutang sebungkus mie instant yang waktu itu mahalnya Rp. 350,00. Beliau lari ke rumah, menyalakan api di tungku yang terbuat dari tanah liat meski retak parah, tungku itu tetap dipakai demi sesuap makan untukku, balita yang membenci waktu.

“Sabar, sayang! Sebentar lagi maem enak-enak,” tutur bapak sambil menata ranting sengon kering agar api terjaga, aku masih saja menangis, ibu memelukku dan menggendongmengitari tiap sudut rumah sambil bersholawat dengan suara paling sendu.
                      
 صلاةالله سلام الله # على يس حبيب الله             "صلاةالله سلام الله # على طه رسول الله       

               توسلناببسم الله # وبالهاديرسول الله                           وكل مجاهد لله # باهل البدرياالله" 
\


Merdu dan syahdu meski sebenarnya suara ibu biasa-biasa saja, tapi nyanyian itu kudengar sebagai alunan dari bidadari surga, bahkan mungkin lantunan ibu satu-satunya lantunan terindah di surga(ku) yang bahkan malaikatpun tak sanggup melantunkannya seperti ibu hingga aku terlelap dalam pelukan hangatnya.

   Mie telah tersaji, mangkuk dari keramik menebarkan aroma khas mie instant yang menjadi primadonanya makanan mewah bagi keluargaku.Bapak selalu menginginkan yang terbaik untukku, ibu mengajariku untuk selalu qona’ah, selalu mensyukuri nikmat Allah sekecil apapun. Bapak dan ibu adalah orang tua terbaik yang pernah kumiliki di dunia, jika nanti orang tuaku masuk neraka, aku bernadzar kepada Allah, aku akan mengadukan Sayyidina Malik AS kepada-Nya karena salah memasukkan orang ke neraka.

     Mie instant terbiarkan hingga dingin, bapak tidak memakannya karena beliau membuat mie itu untukku, beliau menahan laparnya hingga malam tiba, tapi aku terbangun sebelum adzan maghrib. Dengan senyum, bapak menyuapiku sesuap-demi sesuap mie yang telah dingin itu.Aku hanya makan seperempatnya dan sisanya dimakan bapak untuk sedikit mengusir lapar.

    Lalu ibu memandikanku dengan air hangat, beliau mengajariku untuk menghormati hari Jum’at.Jika hari-hari biasa mandi sehari dua kali, khusus untuk hari Jum’at mandi sehari tiga kali terhitung sejak Kamis sore.Mandi di Jum’at sore setelah melewati waktu ashar sudah dianggap mandi di hari Sabtu.

                                      ⁂

    Aku adalah balita yang diajarkan banyak hal tentang agama, yang sudah terbiasa berpuasa Ramadhan, yang hafal doa-doa, yang bicara santun terhadap siapapun, yang menjaga kebersihan dan kerapian, dan banyak hal yang belum tentu diajarkan ibu-ibu lainnya di dunia.

    Kini aku bukan lagi balita, aku remaja yang sering mengabaikan perintah orang tua.Aku bisa menggambar, bahkan aku bisa melukis takdir di kanvas yang berbingkaikan gurat senyum paling indah, kumulai dari pinggir bibir gadis yang terindah.Aku bisa bernyanyi lagu cinta, bahkan aku bisa melantunkan Al-Qur’an dengan Rast ‘ala Nawa. Aku bisa masak beras 30 kg dan mie instant tiga dus sekaligus tanpa bantuan orang tua, yang lebih mengesankan lagi, aku bisa memasak mimpi dan menanak senyum dan tawa hingga mimpi-mimpi itu terasa renyah saat dikunyah.

    Jika saja esok masuk surga, akan kucari gambarpaling indah yang digambar ibu. Ya, gambar bus pengangkut tebu yang hilang bersama temboknya. Aku akan memajangnya di dinding istana surga, ‘kan kupamerkan pada penduduk surga, “Ini lukisan terindah yang pernah ada di dunia sampai di surga.”

   Aku juga akan mencari suara lantunan sholawat badar dari lisan ibu, akan kuperdengarkan pada kepada seluruh penghuni Firdaus bahwa ini adalah suara terindah yang pernah ada. Akan kukatakan kepada Sayyidah Fathimatuz Zahra binti Muhammad dan Sayyidah Khodijah bahwa akulah saksi yang mendengar kesyahduan lantunan itu dari ibu, biar mereka menyampaikan kepada Rasulullah bahwa ada wanita yang memujinya usai ‘ashar di hari Kamis hingga anaknya terlelap.

    Tak lupa kucari semangkuk mie instant dingin yang direbus oleh bapakku dalam keadaan lelah, lalu kuhangatkan kembali dan menyajikannya sebagai masakan yang tak ada duanya di surga ‘Adn, kubagikan pada seluruh pengunjung pasar wajah yang mana pasar itu buka setiap hari Jum’at. Bahkan kusisihkan mie yang telah kembali hangat dan nikmat itu untuk bidadari-bidadari yang tak terhitung jumlahnya

     Juga setengah centong nasi dan garam dari tetangga yang didapat ibu sewaktu di dunia, akan kujadikan saksi untuk mengajak tetanggaku bertetangga lagi di surga bersama Rasulullah, orang-orang yang benar, para Syuhada’ dan orang sholeh.

     Untuk ahli neraka, aku punya persembahan, mungkin hanya secawan saja, secawan air mata yang tak ada duanya di surga. Bersama air matanya orang yang menangis di tengah gulita mengharap ampunan untuk ummat Muhammad, air mata itu akan terkumpul amat banyak hingga cukup untuk menyiram bara jahannam hingga padam, lalu seluruh Ummat Muhammad masuk surga seluruhnya.

                                                                                                                           Surgaku

3 komentar:

  1. bagus ceritanya,menyentuh kalbu...
    sukses selalu buat Daffa Yafi

    BalasHapus
  2. Membuat q rindu dg ke2 orang tua q ... 😭😭 menyentuh bgt ...

    BalasHapus